Kebaradaan Tana Samawa atau
Kabupaten Sumbawa, mulai dicatat oleh sejarah sejak Zaman Dinasti Dewa Awan
Kuning, tetapi tidak banyak sumber tertulis yang bisa dijadikan bahan acuan
untuk mengungkapkan situasi dan kondisi pada waktu itu. Sebagaimana masyarakat
di daerah lain, sebagian rakyat Sumbawa masih menganut animisme dan sebagian
sudah menganut agama Hindu. Baru pada kekuasaan raja terakhir dari dinasti Awan
Kuning, yaitu Dewa Maja Purwa, ditemukan catatan tentang kegiatan kerajaan,
antara lain bahwa Dewa Maja Purwa telah menandatangani perjanjian dengan
Kerajaan Goa di Sulawesi. Perjanjian itu baru sebatas perdagangan antara kedua
kerajaan kemudian ditingkatkan lagi dengan perjanjian saling menjaga keamanan
dan ketertiban. Kerajaan Goa yang pengaruhnya lebih besar saat itu menjadi
pelindung kerajaan Samawa’.
Setelah Dewa Maja Purwa wafat ia
digantikan oleh Mas Goa, yang masih menganut ajaran Hindu. Ia dianggap telah
melanggar salah satu perjanjian damai dengan kerajaan Goa, maka resikonya ia
terpaksa disingkirkan bersama pengikut pengikutnya kesebuah Hutan, kira-kira di
wilayah Kecamatan Utan sekarang. Pengusiran Mas Goa dan pengikutnya ke wilayah
Utan lebih arif disebut kudeta di zaman sekarang. Ia serta merta diturunkan
dari tahtanya karena mangkir dari kesepakatan pendahulunya dengan Kerajaan Goa.
Tidak disebutkan apa pelanggaran yang telah dilakukan Mas Goa, namun campur
tangan Raja Goa di Sulawesi sangat besar.
Pemberhentian secara paksa ini
terjadi pada tahun 1673 M sekaligus mengakhiri pengaruh Dinasti Dewa Awan
Kuning di Sumbawa. Tahun berikutnya 1674 M Dinasti baru terbentuk dan diberi
nama Dinasti Dewa Dalam Bawa’. Saat itu menurut BUK Tana’ Samawa, rakyat
Sumbawa sudah mulai memeluk Agama Islam. Dinasti Dewa Dalam Bawa’ ini berkuasa
hingga tahun 1958.
Luas wilayah kekuasaannya dimulai
dari wilayah taklukan Kerajaan Empang hingga Jereweh. Raja pertama dari Dinasti
Dalam Bawa ini adalah Sultan Harunurrasyid I (1674 – 1702). Ia kemudian diganti
oleh putranya Pangeran Mas Madina bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I
yang kawin dengan Putri Raja Sidenreng Sulawesi Selatan yang bernama I Rakia
Karaeng Agang Jene.Setelah wafat, Jalaluddin Syah I ini kemudian diganti oleh
Dewa Loka Lengit Ling Sampar kemudian oleh Dewa Ling Gunung Setia. Tidak banyak
bahan sejarah yang dapat mengungkapkan berapa lama keduanya memerintah, tapi
diperkirakan selama 10 tahun. Ada fakta yang menyatakan bahwa pada masa
pemerintahan Datu Gunung Setia, kerajaan Sumbawa termasuk “ Bala Balong” lenyap
dilalap si jago merah pada tanggal 26 Ramadhan 1145 Hijriah (1732 M).
Pada tahun 1733 Kerajaan Sumbawa
kembali dipegang oleh keponakan Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I, bernama
Muhammad Kaharuddin I (1733-1758). Ketika ia meninggal, kekuasaan diambil alih
istrinya I Sugiratu Karaeng Bontoparang, yang bergelar Sultan Siti Aisyah. Raja
wanita ini dikenal sering berselisih paham dengan pembantu raja, sehingga pada
tahun 1761 ia diturunkan dari tahta dan mengharapkan , digantikan oleh Lalu
Mustanderman Datu Bajing, namun ia menolak, dan menyarankan untuk mengangkat
adiknya yaitu Lalu Onye Datu Ungkap Sermin ( 1761-1762 ).
Pemerintahannya Lalu Onye, hanya
berjalan setahun. Konon karena ia lari dari istana untuk menghindari perang
saudara, atas kekeliruannya menikahi seorang wanita yang telah lama
ditinggalkan berlayar oleh suaminya, Lalu Angga Wasita yang terkenal
keperkasaannya. Ia menyangka Lalu Angga Wasita sudah meninggal karena tidak
pernah ada kabar beritanya. Tapi suatu hari lelaki perkasa itu muncul. Karena
raja merasa bersalah maka ia lari pada malam Selasa , di hari ke 14 Ramadhan
waktu bulan purnama raya.
Kepergian Datu Ungkap Sermin itu
membuat kursi raja menjadi lowong. Maka diangkatlah Gusti mesir Abdurrahman,
keturunan Raja Banjar. Meski ia bukan trah Dinasti Dewa Dalam Bawa, tetapi
memungkinkan untuk diangkat menjadi raja karena telah menikah dengan puteri
Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I. ia pun diberi gelar Muhammad Jalaluddin Syah
II, dan memegang kekuasaan selama 3 tahun (1762-1765). Ia mangkat pada tanggal
1 Dzulhijjah 1179 Hijriah ( 1765 Masehi). Untuk menggantinya diangkatlah
putra mahkota yang masih berumur 9 tahun menjadi “raja boneka” yaitu Sultan
Mahmud. Sedangkan yang menjalankan pemerintahan diangkat Dewa Mapeconga Mustafa
datu Taliwang.
Keputusan ini menimbulkan amarah
datu Jereweh, karena ia sangat berambisi untuk menjadi raja. Maka ia berangkat
ke Makasar untuk meminta bantuan kompeni (VOC) agar bisa menciptakan kekacauan
di Kerajaan Sumbawa. Sebelum berangkat, datu Jereweh menemui kerajaan-kerajaan
tetangganya dan mempengaruhi mereka supaya ikut mendukung rencananya dan ikut
menandatangani perjanjian dengan VOC sekaligus membatalkan segala hal yang
telah diatur dalam perjanjian Bongaya antara VOC dengan raja Goa yang isinya
antara lain VOC tidak boleh mencampuri urusan perdagangan di kerajaan selatan.
Akhirnya pada tanggal 9 Februari
1765 di Fort Rotterdam ditandatangani perjanjian antara Cornelis Senklaar
Komodour sebagai wakil VOC denga pihiak raja – raja selatan yang antara lain
Sultan Abdul Kadir Muhammad Dzillillah Fil Alam ( raja Bima ), Hasanuddin Datu
Jereweh ( mengatas namakan raja Sumbawa ), Achmad Alauddin Johan Syah (raja
Dompu), Abdurrasyid (raja Sanggar) dan Abdurrahman (raja Pekat).
Perjanjian ini berisi tentang
diperkenankannya VOC masuk Sumbawa. Tapi perjanjian ini kemudian dibatalkan
lewat kontrak baru tanggal 18 Mei 1766 berkat keberhasilan diplomasi utusan
kerajaan Sumbawa Dea Tumuseng. Dalam perjanjian ini disebutkan, apabila Sultan
Mahmud dewasa, maka kekuasaan raja akan diserahkan kembali kepadanya.Tapi pada
waktu Sultan Dewa Mepaconga Mustafa sakit pada tahun 1189 H (1775 M), beliau
digantikan oleh Datu Busing Lalu Komak, yang bergelar Sultan Harrunnurrasyid II
(1777-1790). Sementara Sultan Mahmud yang putra mahkota itu tidak pernah diangkat
menjadi raja yang sebenarnya, hingga ia meninggal dunia pada 8 jumadil akhir
1194 H (1780 M) dalam usia 24 tahun. Pada waktu pemerintahan Harrunnurrasyid II
ini telah berhasil diselesaikan penulisan Kitab Suci Al Qur’an dengan tulisan
tangan oleh Muhammad Ibnu Abdullah Al Jawi Negeri Sumbawa Madzab Safiie,
tepatnya pada 28 Dzulqaidah 1199 H (1784 M).
Sepeninggal Harrunnurrasyid II,
tahta kerajaan beralih pada anak perempuannya, yaitu Sultan Syafiatuddin
(1791-1795). Ia kemudian kawin dengan Sultan Bima dan mengikuti suaminya ke
Bima, sekaligus memboyong beberapa harta pusaka kerajaan. ( Sebagian koleksi
harta kekayaan Raja Bima sekarang adalah milik Sultan Syafiatuddin yang dibawa
dari Sumbawa ). Karena kejadian itu, maka diputuskan oleh para Menteri Kerajaan
untuk tidak lagi mengangkat wanita sebagai raja. Sedangkan pengganti Sultan
Syafiatuddin adalah putera Sultan Mahmud bernama Muhammad Kaharuddin II. Pada
waktu pemerintahannya inilah Gunung Tambora meletus. Tepatnya pada hari Selasa,
21 Jumadil Awal 1230 H (1815 M). Pada waktu itu Kerajaan Sumbawa dilanda hujan
debu. Dalam laporan H. Zolinger disebutkan bahwa sepertiga penduduk mati di
pulau Sumbawa dan sepertiganya lagi pindah ke pulau Lombok. Sedangkan abu yang
menggenangi wilayah kerajaan Sumbawa sampai setinggi lutut. Setahun kemudian
Sultam Muhammad Kaharruddin II pun mangkat pada tanggal 20 Syafar 1231 Hijriah
(1816 M). Pemangku kerjaan selanjutnya diserahkan kepada Nene Ranga Mele
Manyurang. Ia pun tidak lama menduduki singgasana kerajaan, karena pada bulan
Rabbiul Awal 1241 Hijriah (1825 M), Nene Ranga yang sudah tua itu meninggal
dunia. Kekuasaan dilanjutkan oleh Abdullah hingga ia meninggal pada tanggal 87
Muharram 1252 Hijriah (1836 M).
Mulai tahun 1836 sampai 1882, tahta
Kerajaan Sumbawa kembali dilanjutkan oleh Putera Muhammad Kaharuddin II, yaitu
Sultan Amrullah. Pada waktu pemerintahannya ini tidak banyak catatan sejarah
yang bisa ditemukan, barangkali karena kerajaan baru mulai bangkit dari
peristiwa meletusnya Gunung Tambora yang sangat dashyat. Sebuah letusan yang
konon menyebabkan langit di Eropa diliputi kabut awan selama dua tahun.
Sultan Amrullah meninggal pada
tanggal 23 Agustus 1883, sementara kursi raja diteruskan oleh Sultan Muhammad
Jalaluddin III, cucu Sultan Amrullah. Pada masa ini campur tangan Belanda sudah
terlalu jauh, terutama dalam hal menarik pajak. Akhirnya meledaklah
pemberontakan rakyat, yang membuat Belanda harus mendatangkan bala bantuan dari
Makassar, sebab hampir di setiap tempat timbul amarah rakyat. Namun karena kelemahan
dalam bidang persenjataan, semua bentuk pemberontakan dapat dipatahkan termasuk
pemberotakan yang terjadi di Taliwang yang dilakukan Unru dan kawan-kawan.
Kekuasaan Belanda lewat VOC pun
semakin merajalela. Maka dimulailah babak baru, Belanda ikut bermain politik di
dalam istana, dan ikut menentukan jalannya pemerintahan. Pulau Sumbawa dan
Pulau Sumba dijadikan satu dalam bentuk afdeling dengan ibukota di Sumbawa
Besar ( Ibukota Kabupaten Sumbawa sekarang). Asisten Resident yang pertama
adalah Janson Van Ray. Kerajaan Sumbawa dibagi dalam dua ander afdeeling, yaitu
Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur.
Dalam pemerintahan Sultan Muhammad
Jalaluddin III (1833-1931) inilah dibangun “Istana Tua Dalam Loka”. Hal ini
sangat dimungkinkan karena Sultan Muhammad Jalaluddin III menjalankan roda
pemerintahan selama 48 tahun. Ia juga mampu menuruti kehendak Belanda. Setelah
ia meninggal pada tahun 1931, kekuasaan raja turun kepada putra mahkota yang
mendapat gelar Sultan Muhammad Kaharruddin III. Pada zaman pemerintahannya
inilah menjadi masa peralihan kolonialisme Belanda kepada Jepang.
Ketika perjanjian Kalijati
ditandatangani tanggal 9 Maret 1942, organisasi – organisasi Islam di Kabupaten
Sumbawa mulai mengatur siasat. Organisasi itu antara lain Nahdatul Oelama, Moehammadiah
dan Al Irsyad. Sementara tiga kerajaan di pulau Sumbawa mengambil sikap tegas,
menyatakan diri lepas dari kekuasaan Belanda. Tepat pada bulan Mei 1942,
delapan kapal perang Jepang mendarat di Labuhan Mapin di bawah pimpinan Kolonel
Haraichi, yang ternyata disambut gembira oleh rakyat. Kekuasaan Jepang tidak
berlangsung lama, karena setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi Bom Atom,
Jepang menyerah kepada sekutu. Peraktis kekuasaannya berakhir. Sebelum Belanda
kembali masuk, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Agresi Militer Belanda ke Republik
Indonesia mengakibatkan Raja Sumbawa menandatangani sebuah perjanjian politik
baru dengan Belanda pada tanggal 14 Desember 1948. Isinya antara lain
menjelaskan tentang sisa-sisa kekuasaan yang masih dikuasai oleh Belanda di
Sumbawa. Kekuasaan tersebut ada tiga, yaitu bidang pertahanan, hubungan luar
negeri dan monopoli atas candu dan garam. Setahun kemudian pemerintah Indonesia
Timur berdasarkan Undang – Undang Nomor 44 tahun 1949 membentuk daerah Statuta
Federasi Pulau Sumbawa, yang ditetapkan oleh Dewan Raja – raja pada tanggal 6
September 1949.
Perubahan system Pemerintahan
terjadi lagi dengan membentuk Propinsi Nusa Tenggara Barat, yang didasarkan
pada Undang – Undang Nomor 64 Tahun 1958. Propinsi Sunda Kecil dibagi menjadi
tiga Daerah Swatantra Tingkat I yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat ( NTB) dan Nusa
Tenggara Timur (NTT). Khusus Daerah Swatantra I Nusa Tenggara Barat menjadi
enam Daerah Swantantra Tingkat II, dimana raja sekaligus menjadi Kepala
Pemerintahan. Karena itu otomatis Federasi Pulau dibubarkan. Federasi Pulau
Lombok dibubarkan pada tanggal 17 Desember 1958 dan tanggal tersebut hingga
sekarang dijadikan sebagai hari lahirnya Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Sedangkan Federasi Pulau Sumbawa dibubarkan pada tanggal 22 Januari 1959 dan
pada saat itu dilantiklah Sultan Muhammad Kaharruddin III menjadi Pejabat
Sementara Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa. Tanggal itulah yang dijadikan
hari lahir Kabupaten Sumbawa.< dirangkum dari beberapa sumber >
Tidak ada komentar:
Posting Komentar